project of mind-uprising!!!

raise ur hand...................
sebuah pemikiran, sebuah harapan, pemaparan tentang apa yang telah usai, semua yang sedang terjadi atau semua yang akan terjadi, sebuah cerita... kebenaran, kebohongan, kepahitan, kebahagian, realita semu atau sekedar pelarian akan berputarnya roda waktu yang tergulir dalam sebuah lembaran - lembaran halaman yang tergores guratan hitam pena sang aryoz, sebuah torehan cerita yang mungkin belum cukup pantas untuk disisipkan dalam lembaran sejarah..... sekedar petualangan pemikiran saja....... welcome to mind exploration!


Thursday, September 24, 2009

"Terhempas dalam sebuah kisah" CERPENs version

Tiga hari menjelang bulan oktober menutup usia ditahun dua ribu delapan dengan segelas kopi yang setia mendampingi dengan kehangatan dan aroma cookie yang menggoda mengajak mulut menganga dan menggerakkan gigi tuk menguyahnya.

Sebuah momen pada sebuah cafe dengan view jalan kemang daerah jakarta bagian selatan tepat lima menit sebelum jam sembilan berakhir (pukul 21:50). Aku duduk di sebuah kursi rotan yang khas dengan karakter cafe sebuah brand luar negri sembari menelusuri rasa dalam hati akan pencarian jati diri.
Beberapa kali tawa kecil sepasang kekasih yang sedang memadu kasih diujung lorong menghiasi, bangku mereka berjarak hanya sepuluh langkah dari tempatku duduk sehingga turut merasa aura bujuk dan rayu mereka yang saling memuji dan menikmati atmosfir malam itu. Bagaimanapun kekonyolan mereka dengan cerita cinta yang sedang meraka perankan, dimana ada saatnya aku melakoninya membuat aku tersenyum kecut akan ingatan dimasa lalu. Betapa sejuk dan menenangkan bersama yang terkasih disisi untuk sekedar berbagi ucap meski sebatas rekaan saja. Betapa aku juga ikut terbuai dalam tali asmara yang ada untuk semakin ikut menikmati keheningan yang selama ini terpuaskan dengan film – film drama romantis yang biasa kulihat di hari minggu pagi untuk beristirahat melepas penat akibat kehidupan gerak cepat dari senin sampai sabtu.

Bangku mereka diujung jalan dengan dihiasi lampu sorot taman yang tertancap pada sebuah batu yang kira – kira terangnya hanya sekitar 40 watt saja dimana cukup untuk membuat suasanan romantis kolam ikan dengan pompa pancuran yang mengucurkan air dari bawah keatas untuk membasahi dan menciprati rumput hijau disekitar membuat pasangan itu seakan di awang – awang. Begitu manusiawinya ketika canda tawa serta rasa kasih yang telah diujung jalan harus di aktualisasikan sang pria untuk membelai wajah wanitanya dan menaruh telapak tanan sebelah kanan seutuhnya untuk menggenggam pipi kiri sang bidadari, baginya, tanpa di sutradarai mereka dengan gerak lambat bersama pohon palem yang turut bersamaku menjadi saksi menyaksikan betapa ini membuat jantung berhenti berdetak ketika sang wanita dengan blouse putih tersebut menutup mata dan menyerahkan kelembutan bibirnya untuk dipadukan dengan mulut pasangannya.

Tak ayal adegan ciuman ini berlangsung beberapa saat saja saat konsentrasiku terganggu oleh seorang eksekutif muda yang duduk berjarak dua bangku di sebelah kananku membalik halaman koran yang sedang dibacanya. Hanya karena bukan bagian dari kejadian ini, pria perlente ini seenaknya merusak momen romantisme malam itu. “Sial!” Aku berkata dalam hati. Aku pun jengkel dan memusatkan pandang sesaat ke pria tersebut dan mencoba mengamati sepintas akan motivasi pebisnis itu ada disini. Sudah jelas bahwa ia hanya mengahabiskan waktu menunggu sesorang yang tampak jelas ia merasa tak mau membuang waktu sedikitpun dengan membaca koran bagian bisnis dan keuangan sementara matanya setiap beberapa waku melirik communicator yang ditaruhnya di meja bersebelahan dengan asbak dan secangkir kopi ekspresso untuk melihat apakah ada sms masuk atau lampu gadget itu menyala yang menunjukkan ada incoming call dari seseorang yang sedang ia tunggu.

Kembali lagi ke status sebelumnya dan aku memalingkan muka dari pria intruder itu sambil menilai secara dini bahwa ia hanyalah monkey business yang kejam dan tak segan menghabisi lawan. Paling tidak itu yang tergambar dari raut wajah penuh kekuasaan dan angkuh yang seakan bisa membeli segalanya. Akupun yakin kalo ia hanya seorang yang dingin dan tak berperasaan, bisa saja itu hanya kejengkelanku saja atas apa yang telah ia lakukan. Meski firasatku oleh dukungan pegalaman hidup dalam mengamati berbagai orang di bandara yakin bahwa pria itu tak ubahnya seorang yang sukses atas dasar bisnis rekayasa pada sebuah tender bayangan dengan pejabat pemerintahan yang bersembunyi di ketiaknya. Well, meski dont judge book by its cover yg kupercaya masih saja asumsi negatif berkeliaran di pikirku. “Ah sudahlah!” akupun berusaha menyudai untuk terlibat terlalu emosional dengan pria itu dan kembali ke subjek utama malam itu yakni sepasang kekasih yang berduaan di area open door cafe tersebut layaknya lakon Romeo dan Julliet yang sedang mereka peragakan.

Tanpa disadari bahwa cappuchino yang terhidang menyeringai sebab sebatang rokok yang telah kunyalakan di awal cerita telah habis dan berubah menjadi abu rokok tanpa kuhisap sekalipun. Aku hanya keheranan ini bisa terjadi lalu memahami jika aku terlalu asyik mengamati cerita cinta malam itu. Mungkin saja aku amat kesepian dan sunyi tanpa ada yang menemani selama perjalanan dinas yang sudah kulakoni hampir sepekan di Ibu kota.

Dengan mengesampingkan semua itu, malam berlanjut dan kami, yakni sepasang kekasih dan seorang eksmud yang sedang menunggu dan membaca koran terekam dalam cahaya bulan pada lanscape sebuah taman pada out door side cafe itu. Berlanjut dan aku berusaha untuk konsen pada niatan awal untuk menulis pada sebuah notebook yang sejak awal terbuka dengan pena kesayangan hanya tergelatak sebab belum menemukan topik apapun untuk ditulis.

Setelah menyeruput kopi dalam cangkir dengan segera aku menyambar korek tokai berwarna merah muda pemberian seorang wanita paruh baya yang menemaniku mengobrol pada sebuah halte bis sembari menunggu tepat diseberang busway harmoni dua hari yang lalu masih menyisakan kisah tersendiri. Sedikit teringat akan asal muasal korek yang kemudian kuperbudak untuk menyalakan sebatang rokok yang sudah melekat di ujung mulut. Berusaha keras tuk memulai sebua tulisan namun tetap saja ada yang mengusik dan mengganggu kreasi di kepala utuk menterjemahkan segala rasa yang tetap saja membuat kecewa lembar pada notebook yang masih putih bersih tanpa coretan sedikitpun. Pena pun masih saja sebatas alat tulis yang tak berguna karena sama sekali belum tersentuh kecuali sekedar menjadi penonton akan cangkir kopi dan bungkus rokok yang beberapa kali telah kusentuh dan lebih kuperhatikan selain suasana malam itu.

Perasaan yang tidak begitu jelas dapat kurasakan hanyalah sebuah pokok bahasan semu yang terus menghinggapi aku untuk terus membiarkan aku melamun dan sibuk dengan segala bayangan tidak jelas. Semua hanya terdiam dan tak bergerak, baik pena yang menunggu dan segala kode dalam benak yang menanti untuk dipecahkan dalam sebuah tulisan. Mungkin saja aku masih terheran dan benar – benar menikmati suasana hening oleh karena adanya segala kontradiksi pada realita kehidupan ibu kota yang munkin belum bisa membuat diriku nyaman dengan segala dinamikanya.

Tak beberapa lama keheningan ini terpecah oleh kedatangan seorang wanita cantik dengan gaun merah yang sungguh memikat dan seketika aku tidak bisa menolak untuk memungkiri bahwa libido lelakiku terusik oleh si cantik bergaun merah itu. Kulitnya putih langsat dengan rambut panjang dibiarkan terurai ia melangkah dengan pantat dan dada sintal yang tersimpan pada gaun ketat untuk menghampiri pebisnis yang duduk tak jauh dari kursiku.

Lagi – lagi aku berkata. “sial!” kecemasan dan segala kegundahan dari pikiranku terbungkus pada sebuah rasa penasaran akan kehadiran wanita itu. Bukan karena aku menjadi keranjingan sebab belum pernah melihat wanita secantik dan seseksi itu sebab bagaimanapun lingkup kerja di industri pelayanan membuat ku dengan mudah bersinggungan dengan banyak wanita yang lebih seksi dan cantik. Dengan penuh percaya diri saya menyatakan pernah menemui pramugari yang jauh lebih cantik dan seksi dan lebih berarti dari sekedar wanita asing untuk diamati dan ditelanjangi karena fisiknya, namun aku mengenalnya sebagai seorang teman untuk bertukar kesedihan tatkala penerbangan mengalami penundaan.

Yang membuat pikiran terusik adalah siapa wanita cantik bergaun merah dengan pancaran wajah terlihat kalu usianya tidak lebih dari dua puluh tiga, terlihat sangat belia dan penuh manja. Sedang ia menghampiri seorang pebisnis dengan wajah kaku serta aura penuh kuasa itu. Apakah status hubungan mereka? Yang sekarang berputar – putar dikepala sembari menahan napas oleh harum tubuh wanita cantik bergaun merah itu yang terbawa angin masuk kedalam zona penciuman hidungku. Sekali lagi hanya karena jarak kami yang memang berdekatan dan bukan karena aku mencari – cari cara untuk bisa membaui harum tubuhnya namun hanya saja memang hembusan angin yang berpihak untuk membawanya kehadapanku.

Tampak jelas kalau kehadiran wanita ini tidak menjadi perhatian utama eksmud tersebut malah ia hanya memalingkan muka jenak saat si merah yang cantik ini datang dan segera memberi tatapan kesal oleha karena harus menunggu. Terdengar lirih saat sang wanita memanggil dengan sebutan pebisnis tersebut dengan “om pram”. Perbincangan yang meski lirih masih saja terdengar olehku yang dari sudut pandang mereka aku hanyalah pengunjung yang sedang menikmati suasana dengan notebook terbuka dengan pena yang masih tergeletak disebelah asbak merwarna putih tanpa logo.
“Maaf ya om pram”

to be continued.........

No comments:

Post a Comment

hi there... just visit, just read or just kiddin! sumonggo, its okay... dont get mad or get wet.. he...